
Kesehatan mental adalah pilar penting dalam kehidupan manusia yang kerap kali terabaikan. Padahal, ketenangan batin, kestabilan emosi, dan kejernihan berpikir sangat memengaruhi kualitas hidup, ibadah, serta hubungan sosial. Dalam Islam, menjaga kesehatan mental merupakan bagian dari menjaga amanah jiwa yang Allah titipkan.
Dalam konteks ini, komunikasi dan konseling Islam memiliki peran strategis. Bukan hanya menyampaikan ajaran secara verbal, komunikasi Islam berfungsi sebagai sarana membentuk suasana hati yang teduh dan pikiran yang jernih. Gaya dakwah yang santun, empatik, dan membumi mampu menenangkan hati orang yang sedang bergumul dengan kegelisahan hidup.
Dakwah dan komunikasi Islam memiliki potensi besar untuk menjadi sarana edukasi dan pendampingan dalam upaya menjaga serta memulihkan kesehatan mental umat. Lebih dari sekadar menyampaikan hukum atau ajakan beribadah, dakwah dapat menjadi jalan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual yang menenangkan hati, seperti sabar, tawakal, syukur, dan ikhlas.
Sebagai salah satu institusi pendidikan Islam terkemuka di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memiliki tanggung jawab moral dan akademik untuk mendorong mahasiswa, khususnya dari Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, agar mampu mengambil peran aktif dalam isu kesehatan mental. Melalui pendekatan dakwah yang relevan, komunikatif, dan menyentuh sisi kemanusiaan, mahasiswa UMY dapat menjadi agen perubahan yang membangun ruang aman dan suportif di tengah masyarakat.
Konseling dan komunikasi Penyiaran Islam melalui media — baik cetak, audio, visual, maupun digital — menjadi jalan untuk menyebarluaskan pesan-pesan yang menenangkan jiwa. Konten yang berisi zikir, kisah inspiratif dari Al-Qur’an dan Hadis, serta nasihat penuh hikmah menjadi terapi batin yang membangun semangat dan harapan.
Selain itu, penyuluhan yang dilakukan oleh para dai, ustadz, dan tokoh agama yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik, dapat membantu umat memahami bahwa mengalami masalah mental bukanlah bentuk kelemahan iman. Sebaliknya, menghadapi gangguan mental dengan ikhtiar, doa, dan dukungan adalah bagian dari keimanan itu sendiri.
Lebih dari sekadar menyampaikan informasi, komunikasi Islam menekankan pada akhlak komunikasi: berkata baik, menjaga empati, serta tidak menghakimi. Inilah nilai-nilai yang sangat relevan dalam merespons isu-isu kesehatan mental. Ketika seseorang berada dalam fase sulit, yang dibutuhkan bukanlah penghakiman, tapi pelukan dalam bentuk kata-kata dan perhatian.
Melalui dakwah yang menyejukkan dan komunikasi yang bijaksana, Islam hadir bukan hanya sebagai agama yang mengatur ibadah, tetapi juga sebagai pedoman yang menjaga ketahanan jiwa. Inilah bukti bahwa membangun kesehatan mental bisa dimulai dari cara kita berkomunikasi dan menyampaikan pesan-pesan kebaikan.
Penting bagi para pelaku komunikasi dan penyiaran Islam untuk terus mengembangkan cara-cara dakwah yang menyentuh aspek psikologis umat. Bukan dengan menghakimi, tetapi dengan mendengarkan. Bukan dengan menakut-nakuti, tetapi dengan memberi harapan. Karena sesungguhnya, dakwah yang paling efektif bukan hanya yang terdengar di telinga, tetapi yang mampu menyentuh hati dan menenangkan jiwa.
Karena itu, mari kita jadikan dakwah dan komunikasi Islam bukan hanya sebagai sarana menyampaikan ajaran, tetapi juga sebagai media penyembuh jiwa. Dengan komunikasi yang lembut dan penuh makna, kita dapat membangun masyarakat yang tidak hanya beriman, tetapi juga sehat secara mental dan emosional.